Masyarakat tidak bersifat statis, seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat selalu mengalami perubahan, bergerak
menuju perkembangan yang kompleks. Perubahan bukan terjadi pada sistem nilai
saja tetapi pada pola kehidupan, struktur social, Kebutuhan dan tuntutan
masyarakat.
Mengamati perubahan yang berlangsung di masyarakat maka
proses pembelajaran dalam pola pendidikan di Indonesia abad ke 21 pendidikan
dilihat mulai dari input, proses, output dan outcome sistem pendidikan. Mekanisme
seleksi siswa sekarang ini banyak mengandung unsur KKN atau praktek politik
dagang kambing, siapa yang berani harga tinggi akan mendapat kesempatan untuk
mengenyam sekolah bermutu atau favorit, sehingga ada jaminan diakses pasar
kerja lebih cepat terutama untuk perguruan tinggi.
Ini salah satu masalah dalam dunia pendidikan sekarang
ini, dan merupakan tuntutan era globalisasi, mendorong trend berkembangnya pola
pendidikan di Indonesia ke arah pendidikan yang materialistik. Kondisi ini
telah memicu pergeseran paradigma pendidikan di segala aspek terutama yang
terkait dengan refleksi pendidikan, yang pada hakekatnya harus mengutamakan
kebutuhan peserta didik.
Belum lagi masalah substansi atau bentuk (soal) tes masuk
yang hanya mengandalkan kemampuan hard skill dalam bentuk soal klasik dari
tahun ke tahun, sehingga siswa cenderung menghafal soal, tetapi tidak memahami
kedalaman substansinya. Personal qualification yang tidak dijaring lewat sistem
seleksi yang profesional mengakibatkan kesulitan dalam proses pembelajaran.
Sekarang ini proses pendidikan sekedar menggugurkan
kewajiban dan menghafal ilmu pengetahuan yang ditransfer oleh pendidiknya tanpa
memahami manfaatnya. Mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas berarti
memberdayakan manusia seutuhnya baik dari segi fisik maupun dari cara berpikir.
Semestinya harus kritis dan memilki kesadaran akan pentingnya melestarikan
lingkungan dan fungsi lingkungan untuk keperluan manusia berikutnya atau
generasi berikutnya. Sebenarnya, integritas dalam proses pembelajaran dapat
diselenggarakan dengan metode yang sangat sederhana.
Dengan beberapa contoh masalah pembelajaran dalam dunia
pendidikan sekarang ini, maka kita akan mengulas bagaimana masalah dan arah
Pembelajaran khususnya Pendidikan Biologi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Keadaan
Pembelajaran Pendidikan Biologi di Indonesia
Tuntutan era globalisasi, mendorong trend berkembangnya
pola pendidikan di Indonesia ke arah pendidikan yang materialistik. Kondisi ini
telah memicu pergeseran paradigma pendidikan di segala aspek terutama yang
terkait dengan refleksi pendidikan, yang pada hakekatnya harus mengutamakan
kebutuhan peserta didik.
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad
pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan.
Menurut Naisbit (1995) ada 8 kecenderungan besar yang akan terjadi pada
pendidikan di abad 21 yaitu;
(1) Dari
masyarakat industri ke masyarakat informasi,
(2) Dari teknologi
yang dipaksakan ke teknologi tinggi,
(3) Dari ekonomi
nasional ke ekonomi dunia,
(4) Dari
perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang,
(5) Dari
sentralisasi ke desentralisasi,
(6) Dari bantuan
institusional ke bantuan diri,
(7) Dari demokrasi
perwakilan ke demokrasi partisipatoris,
(8) Dari hierarki-hierarki
ke penjaringan,
Sedangkan hasil pendidikan yang diharapkan anak didik
dapat terefleksi pada profil lulusan yang memiliki karakter : rasa menghargai
keberadaan dirinya sendiri, rasa percaya diri, komunikatif, kemampuan berpikir
kritis, jiwa kebersamaan, rasa dan jiwa bertanggung jawab, kepekaan dan
komitmen sosial, pemahaman terhadap sistem politik dan budaya, mampu berpikir
ke depan (visi), mampu berkreasi dan berimajinasi, serta mampu melakukan
refleksi dan evaluasi.
Dalam keluarga dan masyarakat maupun sekolah sebagai satu-satunya
jalur yang dapat ditempuh untuk mencetak generasi yang akan mengukir profil
atau status atau karakter bangsa Indonesia, di era modren ini nampaknya mulai
mengalami erosi. Kelemahan sistem pendidikan saat ini antara lain disebabkan
oleh peran keluarga terutama orang tua yang tidak optimal sebagai pendidik,
misalnya karena maraknya konsep gender.
Jaminan bahwa setiap anak akan mendapat pendidikan yang
baik dan benar masih perlu dipertanyakan. Pelayanan dan pendidikan di
lingkungan luar sekolah khususnya keluarga mendidik para generasi mulai bayi,
balita, anak-anak sampai dewasa sebagian dilihat masih bersifat materilistis
dan memenjakan si anak tanpa mendidik anak menjadi anak yang matang
kepribdiannya atau karakternya untuk mencapai masa globalisasi ( masa yang akan
datang ). Dunia pendidikan memiliki andil yang tidak kecil terkait krisis
multidimensi, karena tidak mampu melahirkan pribadi-pribadi utuh yang mampu
menyelesaikan problematika bangsa. hingga diharapkan adanya kerjasama para
pendidik khususnya guru dan orang tua untuk ikut berperan dalam melaksanakan
pencapaian manusia yang berkarakter.
Sehingga hasil pendidikan dapat terefleksi pada profil
lulusan yang memiliki karakter: rasa menghargai keberadaan dirinya sendiri,
rasa percaya diri, komunikatif, kemampuan berpikir kritis, jiwa kebersamaan,
rasa dan jiwa bertanggung jawab, kepekaan dan komitmen sosial, pemahaman
terhadap sistem politik dan budaya, mampu berpikir ke depan (visi), mampu
berkreasi dan berimajinasi, serta mampu melakukan refleksi dan evaluasi.
Akan tetapi belakangan ini banyak sekali masalah masalah
yang ada dalam dunia pendidikan. Yang mana pemerintah dapat memperbaikinya
dengan empat unsur antara lain: kebijakan pemerintah di bidang pendidikan,
sistem pendidikan, manajemen pendidikan, dan proses pembelajaran. Kebijakan
pemerintah di bidang pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengamanatkan
bahwa perguruan tinggi harus otonom, yang berarti mampu mengelola secara
mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan. Untuk sekolah/madarasah harus dikelola dengan prinsip
manajemen sekolah/madarasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada
satuan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa wewenang otonomi yang diberikan
kepada lembaga dengan tujuan agar meningkatkan tumbuh dan berkembangnya
kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitas, diterjemahkan lain.
Untuk mewujudkan otonomi tersebut, maka UU Sisdiknas
menentukan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum (BHP) dengan persyaratan
tertentu. Ada pernyataan bahwa prinsip manajemen atau pengelolaan BHP tidak
mengarah pada komersialisasi atau privatisasi.
Masalah dalam
dunia pendidikan sekarang yang berdampak ke masa yang akan datang
Kemerosotan pendidikan di Indonesia kurikulum dituding
sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum
mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi
dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan
pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan
profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai
penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh
dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor
eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta
berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan
tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya.
Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat
mengajar Bahasa Indonesia.
Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah
cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan.
Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru
sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan
pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
Persaingan tidak sehat di antara lembaga penyelenggara
pendidikan (terutama pendidikan tinggi), dengan akibat uang sumbangan
pendidikan melejit, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat dengan ekonomi
lemah. Dampaknya adalah meningkatnya jumlah anak putus sekolah, sampai
diberitakan anak SD terpaksa bunuh diri karena tidak mampu membayar uang SPP
(yang seharusnya gratis). Standard mutu menjadi tidak baku, karena
masing-masing sekolah berusaha meningkatkan mutunya dengan ”memainkan” muatan
lokal dalam kurikulumnya.
Masalah substansi atau bentuk (soal) tes masuk yang hanya
mengandalkan kemampuan hard skill dalam bentuk soal klasik dari tahun ke tahun,
sehingga siswa cenderung menghafal soal, tetapi tidak memahami kedalaman
substansinya.
Masalah output sangat erat kaitannya dengan sistem
evaluasi dalam proses pembelajaran. Selama ini, indikator utama yang digunakan
untuk menilai kualitas proses belajar mengajar atau lulusan didasarkan pada
hasil belajar siswa yang tertera pada nilai tes hasil belajar (THB) atau nilai
EBTANAS MURNI (NEM). Akibatnya atau outcome yang dapat adalah guru
berlomba-lomba mentransfer materi pelajaran sebanyak-banyaknya untuk
mempersiapkan siswa dalam mengikuti THB atau EBTANAS, sehingga siswa dipaksa
untuk menghafal informasi yang disampaikan guru tanpa diberi kesempatan atau
peluang sedikitpun untuk melaksanakan refleksi secara kritis. Padahal, untuk
anak jenjang SD misalnya, yang harus diutamakan adalah bagaimana dengan
landasan pengembangan kurikulum yang berorientasi pada psikologi perkembangan
anak pada masa operasional konkrit.
Di bawah ini adalah perbedaan proses pembelajaran di abad
industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;
Abad Industri
1. Guru sebagai
pengarah
2. Guru sebagai
sumber pengetahuan
3. Belajar
diarahkan oleh kurikulum.
4. Belajar
dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas
5. Terutama
didasarkan pd fakta
6. Bersifat
teoritik, prinsip- prinsip dan survei
7. Pengulangan dan
latihan
8. Aturan dan
prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada
kelas
11. Hasilnya
ditentukan sblmnya
12. Mengikuti
norma
13. Komputer sbg
subyek belajar
14. Presentasi dgn
media statis
15. Komunikasi
sebatas ruang kls
16. Tes diukur
dengan norma
Abad
Pengetahuan
1. Guru sebagai
fasilitator, pembimbing, konsultan
2. Guru sebagai
kawan belajar
3. Belajar
diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara
terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama
berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata,
dan refleksi prinsip dan survei
7. Penyelidikan
dan perancangan
8. Penemuan dan
penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada
masyarakat
11. Hasilnya
terbuka
12. Keanekaragaman
yang kreatif
13. Komputer
sebagai peralatan semua jenis belajar
14. Interaksi
multi media yang dinamis
15. Komunikasi
tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja
diukur oleh pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.
Berdasarkan
Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1) Pada abad
industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, rill dan praktek, dan
menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan
menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan
permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2) Betapa sulitnya
mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan,
dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan
praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu
kontinum.
3) Meskipun
sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang
"murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad
Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode
persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad
Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama
tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding
metode-metode baru.
4) Praktek
pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern.
Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan
permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat,
belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke
peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5) Pada Abad
Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti
pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar
karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern.
Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting
yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa
yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita
dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih
tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.
Harapan arah
Pembelajaran Biologi di abad 21 (Era Globalisasi)
Memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi
perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru kita.
Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya,
sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi
minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar,
sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.
Guru profesional harus mampu mengembangkan sepuluh
kemampuan dasar yang
harus dimiliki.
1) Penguasaan
bahan ajar dan konsep-konsep dasar keilmuan.
2) Pengelolaan
program belajar-mengajar.
3) Pengelolaan
kelas.
4) Penggunaan
media dan sumber pembelajaran.
5) Penguasaan
landasan-landasan kependidikan.
6) Pengelolaan interaksi
belajar mengajar.
7) Penilaian
prestasi siswa.
8) Pengenalan
fungsi dan program bimbingan konseling.
9) Pengenalan dan
penyelenggaraan administrasi sekolah,
10) Pemahaman
prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan
peningkatan mutu pelajaran.
Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen
pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara
efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar,
pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian
diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat.
Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian
utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi
masyarakat. Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai
lingkungan pendidikan;
1) Asas belajar
sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk
mengimbangi tantangan perkembangan jaman
2) Penggunaan
berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi
dalam berbagai kegiatan pendidikan
3) Penyediaan
perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya
pendidikan dalam pendidikan
4) Publikasi dan
penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan
suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.
Tata sosial yang kapitalis-sekuler menyajikan menu
individualis dan materialis yang harus disantap oleh para generasi mulai bayi,
balita, anak-anak sampai dewasa. Dunia pendidikan memiliki andil yang tidak
kecil terkait krisis multidimensi, karena tidak mampu melahirkan
pribadi-pribadi utuh yang mampu menyelesaikan problematika bangsa.
Mengembangkan kurikulum yang konsisten secara konseptual,
memang tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi mengimplementasikannya. Apalagi jika
penerapan kurikulum baru itu tidak disertai dengan penyiapan lapangan yang
baik. Perubahan kurikulum bukan sekedar pergantian dokumen. Melainkan
berimplikasi luas terhadap perubahan paradigma, kebiasaan, dan kemampuan lama
menuju yang baru. Dan diharapkan setiap pergantian kurikulum oleh pemerintah
tidak mempersulit guru dalam mengaplikasikan kurikulum baru tersebut dan dapat
dilaksanakan pada proses belajar mengajar mulai dari kota besar sampai ke
daerah terpencil, sehingga anak didik menjadi anak yang berilmu pengetahuan
yang tinggi dan berkarakter sesuai dengan tujuan kurikulum tersebut.
Perkembangan biologi yang begitu pesat menuntut
perkembangan cara berpikir, bersikap manusia Indonesia. Diharapkan dalam proses
belajar mengajar bukan hanya menekankan konsep dan prinsip biologi saja akan
tetapi, mempersiapkan manusia Indonesia yang utuh dalam era globalisasi untuk
menuntut pembelajaran inovatif berupa pembelajaran yang antisipatoris dan
partisipatif. Bekal pengetahuan biologi diharapkan dapat diterapkan dalam
masyarakat yang harmonis dan sehat. Pengetahuan dalam memilih makanan dan
pengaruh zat aditif yang sangat berpengaruh pada lingkungan.
Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran
ini memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional,
baik pada preservice dan inservice guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini
menggam-barkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan
guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh,
menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu
tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad
Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang
harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajaran di abad pengetahuan di
atas, nampaklah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi
berbagai tantangan ini.
0 komentar :
Posting Komentar